Minggu, 23 Mei 2010

KONSEP DASAR PROFESI KEPENDIDIKAN

2 Maret 2010

Profesi merujuk pada suatu pekerjaan oleh pelaku atas dasar suatu janji public dan sumpah bahwa mereka akan menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Seseorang dikatakan professional jika orang tersebut dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik dan dapat memuaskan orang lain; melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok bukan sekedar mengisi waktu luang; dan pekerjaan tersebut menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, dan kecakapan.
Suatu pekerjaan dikatakan sebagai profesi jika dilaksanakan secara fulltime; didasarkan panggilan hidup; terikat noram dan aturan; memiliki derajat otonomi tinggi; melakukan pengembangan diri secara terus-menerus; dan memiliki kode etik profesi. Kode etik profesi merupakan norma-norma atau aturan yang harus ditaati. Tujuan dari kode etik profesi yaitu menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian para anggota profesi, dan meningkatkan harga diri (kehormatan suatu organisasi profesi).
Tenaga kependidikan merupakan suatu profesi. Tenaga kependidikan merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Selain itu bertugas untuk melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan. Tenaga kependidikan terdiri dari pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik/pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.
Salah satu contoh pendidik adalah guru. Seseorang dikatakan sebagai guru karena ia berada di muka kelas dan berhubungan langsung dengan peserta didik dalam melaksanakan proses kegiatan pembelajaran. Seorang guru harus memiliki profesionalisme (merupakan sikap dari seorang professional). Sasaran dari sikap professional yaitu peraturan perundang-undangan, organisasi profesi (PGRI), teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan.

A.Profesi Keguruan
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan. Ciri-ciri profesi, yaitu adanya:
1. Standar unjuk kerja;
2. Lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas akademik yang bertanggung jawab;
3. Organisasi profesi;
4. Etika dan kode etik profesi;
5. Sistem imbalan;
6. Pengakuan masyarakat.
Pada dasarnya profesi guru adalah profesi yang sedang tumbuh. Walaupun ada yang berpendapat bahwa guru adalah jabatan semiprofesional, namun sebenarnya lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan karena jabatan guru hanya dapat diperoleh pada lembaga pendidikan yang lulusannya menyiapkan tenaga guru, adanya organisasi profesi, kode etik dan ada aturan tentang jabatan fungsional guru (SK Menpan No. 26/1989). Usaha profesionalisasi merupakan hal yang tidak perlu ditawar-tawar lagi karena uniknya profesi guru. Profesi guru harus memiliki berbagai kompetensi seperti kompetensi profesional, personal dan sosial.

B.Ciri-ciri Profesi Keguruan

Ciri-ciri jabatan guru adalah sebagai berikut.
1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
4. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
6. Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

C. Latar Belakang Profesi Keguruan
Jabatan guru dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan tenaga guru. Kebutuhan ini meningkat dengan adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan calon guru untuk menghasilkan guru yang profesional. Pada masa sekarang ini LPTK menjadi satu-satunya lembaga yang menghasilkan guru. Walaupun jabatan profesi guru belum dikatakan penuh, namun kondisi ini semakin membaik dengan peningkatan penghasilan guru, pengakuan profesi guru, organisasi profesi yang semakin baik, dan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru sehingga ada sertifikasi guru melalui Akta Mengajar. Organisasi profesi berfungsi untuk menyatukan gerak langkah anggota profesi dan untuk meningkatkan profesionalitas para anggotanya. Setelah PGRI yang menjadi satu-satunya organisasi profesi guru di Indonesia, kemudian berkembang pula organisasi guru sejenis (MGMP).

D.Ruang Lingkup Profesi Keguruan

Ruang lingkup layanan guru dalam melaksanakan profesinya, yaitu terdiri atas
(1) layanan administrasi pendidikan
(2) layanan instruksional
(3) layanan bantuan,
Ketiganya berupaya untuk meningkatkan perkembangan siswa secara optimal.
Penguasaan Materi menjadi landasan pokok seorang guru untuk memiliki kemampuan mengajar. Penguasaan materi seorang guru dilakukan dengan cara membaca buku-bulu pelajaran. Kemampuan penguasaan materi mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan mengajar guru, semakin dalam penguasaan seorang guru dalam materi/bahan ajar maka dalam mengajar akan lebih berhasil jika ditopang oleh kemampuannya dalam menggunakan metode mengajar. Penguasaan bahan ajar dapat diawali dengan mengetahui isi materi dan cara melakukan pendekatan terhadap materi ajar. Guru yang menguasai bahan ajar akan lebih yakin di dalam mengajarkan materi, senantiasa kreatif dan inovatif dalam metode penyampaiannya.

Keputusan Situasional dan Transaksional
Keputusan situasional menyangkut keputusan tentang apa dan bagaimana pengajaran akan diwujudkan berdasarkan analisis situasi (tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disampaikan, waktu serta fasilitas yang tersedia dan perilaku bawaan siswa). Keputusan situasional diambil guru ketika menyusun persiapan tertulis dalam bentuk satuan pelajaran (satpel). Keputusan transaksional merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh guru yang berkaitan dengan pelaksanaan dari keputusan situasional berdasarkan balikan yang diperoleh guru dari interaksinya dengan siswa maupun dari interaksi antar siswa dalam PBM yang sedang berlangsung. Keputusan transaksional diambil karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dalam melaksanakan PBM.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

2 Maret 2010

Latar belakang adanya manajemen mutu berbasis sekolah, yaitu :
• Pendidikan menghadapi masyarakat yang berubah
• Perubahan social-politik dan aspirasi masyarakat
• Perubahan pemerintahan
• Undang-undang Sisdiknas

Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk otonomi manajemen pendidikan, kewenangan ada pada kepsek/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen dimana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS bertujuan mencapai mutu dan relevansi dengan tolak ukur pada hasil (output dan outcome); menjamin keadilan layanan pendidikan bagi setiap anak; meningkatkan efektivitas dan efisiensi; meningkatkan akuntabilitias dan komitmen stake holders. MBS tidak menjamin mutu pendidikan terutama bila dipahami secara keliru.
Sebelum desentralisasi, beberapa sekolah di Indonesia sudah melaksanakan proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan mereka mampu mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan sekolah secara nternal. Sekolah-sekolah ini, sebagian yang didaftar (sebelah kiri), disebut sebagai pelopor, dan perkembangannya sebenarnya cukup hebat. Kepala sekolah juga termasuk berani kalau kita melihat keadaan lingkungan dan paradigma sistem manajemen pendidikan saat itu.
Sekarang, di beberapa propinsi di Indonesia kami mulai dapat melihat kemampuan sebenarnya dari MBS karena dukungan yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan. Transformasi yang dilaksanakan luar biasa. Proses MBS tidak dapat disebut baru di Indonesia, tetapi pelaksanaan sekarang dibuktikan dapat mengubah kebudayaan dan sistem supaya pengembangannya menjadi efektif dan "sustainable".
Apa yang membuat implementasi sekarang menjadi efektif?
Dasarnya adalah manajemen implementasi yang bagus. Seperti semua inisiatif yang lain, manajemen yang bagus adalah kunci untuk implementasi yang afektif. Bila perubahan sistemik dilaksanakan tanpa perubahan kebudayaan organisasi, implementasinya sering gagal dan kembali ke keadaan sebelumnya, seperti kita sudah melihat dulu setelah kepala sekolah yang mendorong prosesnya dipindahkan ke sekolah yang lain. Untuk implementasi yang bagus semua stakeholder harus sangat mengerti peran mereka masing-masing. Sesuai dengan etos MBS peran mereka tidak dapat dipastikan dari awal secara hitam di atas putih, mereka perlu, secara proses terbuka, mendiskusikan dan menukar pikiran supaya peran mereka yang paling mendukung guru di lapangan dan proses belajar-mengajar secara maksimal dapat ditentukan. Di dalam program baru, tidak ada peserta (stakeholder) yang dianggap superior, semua stakeholder walau mereka adalah Dewan Pendidikan, guru baru, atau orang tua yang petani, membawa input (pengalaman) dan kebutuhan mereka ke meja diskusi untuk mencari jalan terbaik untuk membantu stakeholder yang lain maupun keperluan mereka sendiri. Sekarang, yang juga sangat mendukung prosesnya adalah kita sekalian mengimplementasikan PAKEM (Contextual Learning).
Bila proses-proses di atas sudah diikuti dengan baik, dan berjalan secara efektif kita seharusnya dapat melihat situasi pengajaran dan pelajaran yang lebih baik, tetapi bila kita tidak mulai menghadapi hal cara siswa kita belajar, dan apa yang mereka pelajari keuntungan mungkin tidak dapat dilihat dari hasil karya mereka (outcomes).
Yang pertama, apa maksud kami "apa yang mereka pelajari". Maksud kami bukan kurikulum, kurikulumnya tidak akan diubah. Yang kami maksud adalah mereka perlu mulai belajar mengenai cara mereka belajar (learning how to learn), cara belajar secara penemuan (discovery), secara kreatif, analisa, dan kritis, supaya mereka dapat menjadi pelajar selama hidup (life-long learners) yang efektif.
Yang kedua, "cara siswa kita belajar", apa itu PAKEM (Contextual Learning)?
"A conception that helps teachers relate subject matter content to real world situations and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers." (BEST, 2001).
Satu konsep yang membantu guru-guru menghubungkan isinya mata pelajaran dengan situasi keadaan di dunia (real world) dan memotivasikan siswa/i untuk lebih paham hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya kepada hidup mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan karyawan-karyawan.
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Fokus PAKEM adalah pada kegiatan siswa di dalam bentuk group, individu, dan kelas, partisipasi di dalam proyek, penelitian, penelidikan, penemuan, dan beberapa macan strategi yang hanya dibatas dari imaginasi guru. Phillip Rekdale (Jakarta, November 2005)

Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi. MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.

1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid. Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia.
Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah

3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya. Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar. MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik. Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.

5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut:
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap. Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1)Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2).Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3).Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4)Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi. Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid

MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik. Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula. Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat. Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta.
Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah. Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.

8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar ?

MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan. Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah.
Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan. Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan. Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua.
Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah. Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif. Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.

9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004). Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.

Daftar Pustaka:
http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/05/15/manajemen-berbasis-sekolah-mbs/
http://schooldevelopment.net/indexi.html

PARADIGMA BARU MANAJEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

2 FEBRUARI 2010

Berbicara mengenai sistem pendidikan dinegara kita tercinta ini, seolah tidak ada habis-habisnya memicu kontroversi dan polemik berkepanjangan yang terus bergulir dengan komentar yang munculkan seperti “ganti pimpinan (menteri) berarti ganti kebijakan (sistem)” atau “tahun ajaran baru, ganti buku baru”, apakah ini sudah menjadi “suratan takdir“ bagi anak bangsa ini yang harus dijalani dalam proses menuju perbaikannya?
Dunia pendidikan (nasional) dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi maupun dunia bisnis yang seharusnya seiring sejalan dalam perkembangannya mengikuti tuntutan dan zamannya, apakah karena dunia pendidikan lebih banyak dan harus berorientasi kepada human investment ketimbang memikirkan profit and lost yang bernaung dalam suatu wadah/lembaga dengan embel-embel nirlaba? Mungkin ini suatu fenomena yang sering terjadi dalam dunia pendidikan (nasional) manakala kita ingin maju dan dihadapkan pada tantangan globalisasi disemua sektor.
Konsekuensi yang muncul ketika kita ingin mewujudkan harapan cita-cita mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terwujud adalah bagaimana agar masyarakat mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia pendidikan ini mengingat dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat.
Upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku. Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.
Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).
Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena ouput dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.
Output yang bagaimana yang dapat kita harapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju kearah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana kita mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)
1. Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal, orientasi global”
2. Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa (kognitif, afektif dan psikomotorik)
3. Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)
4. Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya
5. Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik
6. Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah? Sistem informasi terpadu untuk menunjang proses administrasi dan strategis
7. Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.
Kita sepaham dan sepakat pada akhirnya bahwa “nasib” keberhasilan anak bangsa ini untuk dapat berkompetisi dan berhasil memenangkan persaingan di segala sektor di era global ini berada pada institusi pendidikan. Dalam upaya menciptakan keunggulan kompetitif ini, masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif untuk dapat menumbuhkan dan menciptakan inovasi yang berharga bagi perkembangan dunia pendidikan, karena tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan menghasilkan output yang tidak mandiri, kurang percaya diri dan selalu akan tergantung pada pihak lain.
Dalam perspektif masyarakat terhadap pendidikan harus mampu menjembatani dan mengatasi kesenjangan antara proses, hasil dan pengalaman selama dibangku sekolah dengan kenyataan tuntutan hidup yang riil. Dalam era globalisasi ini tantangan pendidikan menjadi tidak terbatas (waktu, lokasi dll), jika kita (masyarakat) berdiam diri dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukan suatu perubahan kearah perbaikan, maka bersiap-siaplah kita sebagai bangsa akan termajinalisasikan secara alami.
Daftar Pustaka :
1.David McNally & Karl D.Speak. 2004. Be Your Own Brand. Jakarta: Gramedia.
2.http://edu-articles.com/menggugah-perspektif-masyarakat-terhadap-paradigma-baru-sistem-pendidikan-nasional/
3.Jansen H. Sinamo & Agus Santosa. 2002. Pemimpin Kredibel, Pemimpin Visioner. Jakarta: Institut Darma Mahardika.
4.R.Eko Indrajit & R.Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi. Yogjakarta: Andi.
5.Suyanto, Prof, Ph.D. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP). Jakarta: Muhammadiyah.

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

11 Mei 2010

Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik; penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud di atas diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Penilaian Pendidikan.
•Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.Sahih, berarti Penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
2.Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
3.Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4.Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5.Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6.Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik Penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7.Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
8.Beracuan kriteria, berarti Penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
9.Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
Syarat sebuah tes harus validitas, reliabilitas, objektivitas, ekonomis, dan praktikabilitas. Ulangan pada peserta didik meliputi: ulangan harian, UTS, UAS, dan ulangan kenaikan kelas. Sedangkan ujian meliputi ujian sekolah dan ujian nasional. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.
Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

Teknik dan Instrumen Penilaian

1.Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik Penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
2.Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.
3.Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4.Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.
5.Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.
6.Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.
7.Instrumen penilaian yang digunakan oleh pernerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.
Validitas adalah mengukur sesuatu yang hendak diukur dengan tepat, sedangkan reliabilitas adalah mengukur sesuatu yang hendak diukur dengan tetap. Validitas terbagi menjadi 2 yaitu validitas logis dan validitas empiris. Validitas logis digolongkan menjadi 2 yaitu validitas isi dan validitas konstruksi. Validitas isi adalah validitas yang ditinjau dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu sejauh mana tes hasil tersebut isinya telah dapat mewakili secara representative keseluruhan konsep/materi yang seharusnya diteskan. Validitas konstruksi dapat diketahui dengan cara memerinci dan memasangkan setiap butir soal dengan setiap aspek dalam indikator.
Validitas empiris digolongkan menjadi 2 yaitu, validitas bandingan dan validitas prediksi. Validitas bandingan merupakan validitas yang ditinjau dalam hubungannya dengan alat pengukur lain sebagai kriterium atau alat banding. Validitas prediksi memiliki validitas ramalan apabila secara tepat menunjukkan kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa mendatang. Cara menentukan vliditas bisa dengan Teknik Korelasi Product Moment dari Karl Pearson maupun Teknik Korelasi Point Biserial.
Pengujian reliabilitas tes hasil belajar bentuk objektif dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: metode tes ulang, metode bentuk paralel, dan metode belah dua. Dalam metode tes ulang, pengetes menggunakan alat penilaian (test) dua kali dalam waktu yang berlainan, pengetes hanya membuat satu perangkat test. Penghitungan metode ini dengan korelasi rank order dari Spearman. Pada metode bentuk paralel diperlukan dua perangkat tes yang setara baik dari segi tujuan, tingkat kesukaran, bentuk pertanyaan, yang berbeda hanya pertanyaannya.
Reliabilitas tes bentuk paralel dilakukan dengan menggunakan dua perangkat tes yang diberikan kepada sekelompok subjek tanpa adanya tenggang waktu. Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Pearson. Pada metode belah dua, pengetes membuat seperangkat tes dan dicobakan satu kali teknik yang digunakan untuk mengukur metode belah dua yaitu rumus Spearman Brown, Flanagan, dan rumus Rulon. Penggunaan rumus Kuder-Richardson atau KR-20 dikembangkan untuk mengatasi (menghindari) kesulitan-kesulitan yang terjadi dengan menggunakan metode 1, 2, dan 3. Pada umumnya rumus yang digunakan untuk menentukan reliabilitas bentuk uraian adalah Rumus Alpha.

Mekanisme dan Prosedur Penilaian
1.Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
2.Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana peiaksanaan pembelajaran (RPP).
3.Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
4.Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan keiulusan dari satuan pendidikan.
5.Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.
6.Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oieh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.
7.Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) rnenyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
8.Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
9.Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkar. informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
10.Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.
11.Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.
12.Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.
13.Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.
14.Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkahlangkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.
15.UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.
16.Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
17.Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

A.Penilaian oleh Pendidik
1.Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara barkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:
2.menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.
3.mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.
4.mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.
5.melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.
6.mengolah hasil penilaian untilk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik.
7.mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.
8.memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
9.melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.
10.melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.

B. Penilaian oleh Satuan Pendidikan

Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:
1.menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapai dewan pendidik.
2.mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
3.menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.
4.menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang mengglinakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.
5.menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.
6.menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.
7.menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
8.melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.
9.melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada divas pendidikan kabupaten/kota.
10.menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria: (a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; (b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; (c) lulus ujian sekolah/madrasah; (d) lulus UN.
11.menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
12.menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.

C. Penilaian oleh Pemerintah

1.Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mats pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.
3.Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.
4.Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
5.Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
6.Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.

Daftar Pustaka
http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/09/standar-penilaian-pendidikan.html
http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=245/

STANDAR PROSES PENDIDIKAN

27 April 2010

Standar adalah persyaratan/acuan/kriteria yang seragam. Proses adalah urutan/pelaksanaan yang dilakukan secara alami. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kegiatan belajar-mengajar. Jadi standar proses pendidikan adalah suatu bentuk teknis yang dibuat secara terencana dalam kegiatan belajar-mengajar. Komponen dalam standar proses pendidikan yaitu:
1.Perencanaan Proses Pembelajaran
Ada silabus dan RPP. RPP merupakan penjabaran dari siabus untuk mengarahkan kegiatan belajar, agar peserta didik dapat mencapai Kompetensi Dasar (KD)
2.Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Ada pembelajaran tatap muka, kegiatan tutorial, dan kegiatan mandiri. Tiap pelaksanaan proses pembelajaran tersebut ada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan tutorial dilakukan di luar jam pelajran dan berpusat pada guru, sedangkan kegiatan mandiri berpusat pada siswa. Pelaksanaan dalam proses pembelajaran harus memenuhi beberapa syarat mengenai rombongan belajar, beban kerja minimal guru, buku teks (1:1 yaitu 1 buku 1 siswa), dan pengelolaan kelas.
3.Penilaian Hasil Pembelajaran
-Dilakukan oleh pendidik terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik.
-Dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram berupa tes maupun non tes.
-Menggunakan standar penilaian pendidikan dan panduan penilaian kelompok mata pelajaan.
4.Pengawasan Proses Pembelajaran
-Pemantauan: dilakukan oleh dinas dan diskusi ke sekolah tersebut.
-Supervisi: dilakukan oleh dinas
-Evaluasi: untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan
-Pelaporan
-Tindak Lanjut

Adanya standar proses pendidikan diperlukan agar SI bisa dioperasionalkan dengan benar. Jika semua guru mengajarkan sesuai dengan SI maka UN tidak akan bermasalah. Salah satu kemungkinan UN bermasalah adalah karena guru. Guru tidak memiliki kualifikasi yang baik sehingga diperlukan lagi Standar Kompetensi Guru (SKG). Guru tidak mengadakan evaluasi tiap akhir pembelajaran, sehingga guru tersebut tidak memiliki standar proses penilaian. Guru tidak menggunakan media atau alat peraga selama pembelajaran berlangsung, hal inilah yang menyebabkan guru tersebut tidak memilki standar sarana-prasarana. SI yang digunakan saat ini adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP dimulai sejak pemerintah menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Kenapa ada MBS?Karena adanya desentralisasi atau otonomi daerah. Sistem sekolah saat ini beraneka ragam, diantaranya:
1.Home Schooling: pendidikan informal. Pendidikan alternative ini diterapkan karena permasalahan ada di diri siswa. Misal: siswa tidak ada waktu banyak untuk sekolah, lokasi sekolah jauh dari rumah, dan lain sebagainya.
2.SKM: sekolah yang menerapkan sistem SKS dan moving class.
3.SSN (Sekolah Standar Nasional). SSN menerapkan standar nasional yang diterapkan oleh pemerintah, yaitu:
a.Semua guru sudah lulusan S1.
b.Tiap guru sudah melakukan pelajaran tatap muka dengan siswa selama 24 jam/minggu.
c.Jumlah murid sesuai dengan standar yang ditetapkan. SD maksimal 28 orang, SMP dan SMA maksimal 32 orang.

Desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat. Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar. Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.
Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional. Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.
Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.
Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke. Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan. Yang lebih menyedihkan, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.
Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi. Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas. Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan. Jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional. Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam. Tidak cukup sertifikasi
Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar. Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

Daftar Pustaka
http://dikisafaat.blogspot.com/2010/01/standar-proses-pendidikan.html
http://www.g-excess.com/id/standar-nasional-pendidikan.html
http://scribd.com/doc/8754386/Permen-Standar-Proses-No-41

BIMBINGAN DAN KONSELING

13 April 2010

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami dirinya sendiri. Konseling adalah usaha membantu klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawabnya sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus. Konseling merupakan salah satu teknik pelayanan bimbingan secara keseluruhan, yaitu dengan cara memberikan bantuan secara individual (face to face relationship). Bimbingan tanpa konseling ibarat pendidikan tanpa pengajaran atau perawatan tanpa pengobatan. Tujuan Umum
Tujuan umum dari layanan Bimbingan dan Konseling adalah sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara khusus layanan Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu siswa agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan meliputi aspek pribadi, sosial, belajar dan karier.
Bimbingan pribadi – sosial dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pribadi – sosial dalam mewujudkan pribadi yang taqwa, mandiri, dan bertanggungjawab. Bimbingan belajar dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan tugas perkembangan pendidikan. Bimbingan karier dimaksudkan untuk mewujudkan pribadi pekerja yang produktif.
1. Tugas Perkembangan Pribadi:
a.Memiliki kesadaran diri.
b.Dapat mengembangkan sikap positif.
c.Membuat pilihan secara sehat.
d.Mampu menghargai orang lain.
e.Memiliki rasa tanggung jawab.
f.Mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi.
g.Dapat menyelesaikan konflik.
h.Dapat membuat keputusan secara efektif.

2.Tugas Perkembangan Belajar:
a.Dapat melaksanakan ketrampilan atau belajar secara efektif
b.Dapat menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan
c.Mampu belajar secara efektif
d.Memiliki ketrampilan dan kemampuan dalam menghadapi evaluasi/ujian

3.Tugas Perkembangan Karier:
a.Membentuk identitas karier
b.Merencanakan masa depan
c.Dapat membentuk pola-pola karier, yaitu kecenderungan arah karier
d.Mengenal ketrampilan, kemampuan dan minat

Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling
1.Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah, baik pria maupun wanita, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif) dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
2.Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
3.Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
4.Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
5.Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
6.Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Fungsi BK yaitu pemahaman, preventif, pengembangan, penyembuhan, penyaluran, adaptasi, penyesuaian, perbaikan, fasilitasi, dan pemeliharaan. Azas BK yaitu azas kerahasiaan, azas kesukarelaan, azas keterbukaan, azas kegiatan, azas kemandirian, azas kekinian, azas kedinamisan, azas keterpaduan, azas keharmonisan, azas keahlian, dan azas alih tangan kasus. Peran guru dalam BK mencakup peran sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator. Kebanyak orang menilai BK dengan cap negative. Misal: ada anak yang dipanggil ke ruang BK, maka siswa yang lain beranggapan bahwa anak tersebut bermasalah. Sebenarnya kita harus menilai BK dari sudut pandang yang positif. Bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap :
a. Perencanaan kegiatan
b. Pelaksanaan kegiatan
c. Penilaian hasil kegiatan
d. Analisis hasil penilaian dan tindak lanjut .
Program bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan layanan dan kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan pada periode tertentu.
a. Jenis program terdiri dari program tahunan, program semesteran, program bulanan, program harian.
b. Unsur program BK yang meliputi kebutuhan siswa, jumlah siswa asuh, bidang-bidang bimbingan (bimbingan pribadi, sosial,belajar), jenis-jenis layanan orientasi, informasi, penempatan, penjaluran, konseling perorangan, bimbinga kelomok dan bimbingan kelompok, volume kegiatan yang diperkirakan, frekuensi layanan, lama kegiatan, waktu kegiatan, kegiatan khusus, materi program, tugas perkembangan, bidang-bidang bimbingan, jenis-jenis layanan dan kegiatan pendukung.
c. Rincian program yang terdiri dari program tahunan, program semesteran, program mingguan dan program harian.
d.Tahap-tahap pelaksanaan program meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap penilaian, tahap analisis hasil dan tahap tindak lanjut
e. Alokasi waktu dan jadwal kegiatan
1) Penilaian hasil layanan
Untuk keberhasilan layanan dilakukan penilaian-penilaian ditunjukan oleh perolehan siswa yang menjalani layanan.Proses penilaian diarahkan terhadap perkembangan pemahaman baru, perasaan positif, rencana kegiatan. Penilaian dapat dilakukan melalui format individual, kelompom atau klasikal, media lisa atau tulisan atau instumen baku. Tahap penilaian terdiri dari penilaian segera, jangka pendek dan jangka panjang.
2) Penilaian proses kegiatan
Penilaian dalam kegiatan BK dilakukan juga terhadap proses kegiatan dan pengolahannya. Hasil penilaian proses digunakan untuk meningkatkan kualitas kegiatan BK secara menyeluruh.

Diperlukan tenaga yang benar-benar berkemampuan, baik ditinjau dari personalitasnya maupun profesionalitasnya yaitu (1) modal personal, (2) modal professional, dan (3) modal instrumental. Organisasi dan personalia bimbingan dan konseling di sekolah adalah sebagai berikut:
a. Struktur organisasi yang menyeluruh, sederhana, luwes, menjamin berlangsungnya kerjasama, menjamin terlaksananya pengawas, penilaian dan upaya tindak lanjut.
b. Personil yang terdiri dari Depdikbud, kepala sekolah, guru pembimbing/ guru kelas, guru-guru lain/ guru mata pelajaran dan wali kelas.

Evaluasi bimbingan dan konseling di sekolah, yaitu:
a. Aspek yang dinilai/dievaluasi, proses dan hasil yaitu kesesuaian antara program dan pelaksanaan, keselarasan program, hambatan-hambatan yang dijumpai, dampak kegiatan bimbingan terhadap kegaiatan belajar mengajar, respon siswa, personel sekolah orang tua dan masyarakat terhadap layanan bimbingan, dan perubahan kemajuan siswa dilihat dari pencapaian tujuan layanan bimbingan.
b.Penilaian proses yaitu mengatasi partisipasi dan aktifitas dalam kegiatan layanan bimbingan, mengungkapkan pemahaman siswa atas bahan-bahan yang disajikan, mengungkapkan kegunaan layanan bagi siswa dan perolehan siswa sebagai kasih dari partisipasi atau aktifitasnya dalam kegiatan layanan bimbingan, mengungkapkan minat siswa tentang perlunya layanan bimbinga lebih lanjut, mengamati perkembangan siswa sari waktu ke waktu, mengungkapkan kelancaran proses dan suasana penyelenggaraan kegiatan layanan. Penilaian dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan alat seperti wawancara, observasi, studi dokumentasi, angket, tes, analisa hasil kerja siswa. Penilaian perlu diprogramkan secara sistematis dan terpadu, kegiatan penilaian baik mengenai proses maupun hasil perlu dianalisis untukkemudian dijadikan dasar dan tindak lanjut untuk perbaikan dan pengembangan program layanan bimbingan. Dengan dilakukan penilaian secara komprehensip, jelas dan cermat maka diperoleh data atau informasi ini dapat dijadikan bahan untuk pertanggungjawaban, akuntabilitas, pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.

Pengawas (TK/SD ) mengetahui struktur program bimbingan dan konseling dan dapat memberikan pembinaan serta pengawasan pembinaan apakah program BK disusun dilaksanakan sesuai dengan rancangan program? Apakah terdapat dokumentasi sebagai indicator pencatatan pelaksanaan program? Apakah ada hambatan yang ditemui saat melaksanakan program? Apakah dapat diidentifikasikan keberhasilan yang dicapai program? Apakah dapat diperoleh informasi dampak langsung maupun tidak langsung pelaksanaan program terhadap siswa, pendidik maupun instansi pendidikan.pengawas (TK/SD) diharapkan memberikan dorongan dan saran-saran bagaimana program-program yang belum terlaksana dapat dilaksanakan, pengawas harus mengembangkan diskusi bersama pinpinan sekolah dan konselor berkenaan dengan dukungan kebijakan, sarana dan prasarana untuk melaksanakan program.

Daftar Pustaka:
http://www.scribd.com/doc/4108141/Bimbingan-dan-Konseling
Winkel, W.S,.2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
www.konselingindonesia.com