Minggu, 23 Mei 2010

STANDAR PROSES PENDIDIKAN

27 April 2010

Standar adalah persyaratan/acuan/kriteria yang seragam. Proses adalah urutan/pelaksanaan yang dilakukan secara alami. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kegiatan belajar-mengajar. Jadi standar proses pendidikan adalah suatu bentuk teknis yang dibuat secara terencana dalam kegiatan belajar-mengajar. Komponen dalam standar proses pendidikan yaitu:
1.Perencanaan Proses Pembelajaran
Ada silabus dan RPP. RPP merupakan penjabaran dari siabus untuk mengarahkan kegiatan belajar, agar peserta didik dapat mencapai Kompetensi Dasar (KD)
2.Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Ada pembelajaran tatap muka, kegiatan tutorial, dan kegiatan mandiri. Tiap pelaksanaan proses pembelajaran tersebut ada kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan tutorial dilakukan di luar jam pelajran dan berpusat pada guru, sedangkan kegiatan mandiri berpusat pada siswa. Pelaksanaan dalam proses pembelajaran harus memenuhi beberapa syarat mengenai rombongan belajar, beban kerja minimal guru, buku teks (1:1 yaitu 1 buku 1 siswa), dan pengelolaan kelas.
3.Penilaian Hasil Pembelajaran
-Dilakukan oleh pendidik terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik.
-Dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram berupa tes maupun non tes.
-Menggunakan standar penilaian pendidikan dan panduan penilaian kelompok mata pelajaan.
4.Pengawasan Proses Pembelajaran
-Pemantauan: dilakukan oleh dinas dan diskusi ke sekolah tersebut.
-Supervisi: dilakukan oleh dinas
-Evaluasi: untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan
-Pelaporan
-Tindak Lanjut

Adanya standar proses pendidikan diperlukan agar SI bisa dioperasionalkan dengan benar. Jika semua guru mengajarkan sesuai dengan SI maka UN tidak akan bermasalah. Salah satu kemungkinan UN bermasalah adalah karena guru. Guru tidak memiliki kualifikasi yang baik sehingga diperlukan lagi Standar Kompetensi Guru (SKG). Guru tidak mengadakan evaluasi tiap akhir pembelajaran, sehingga guru tersebut tidak memiliki standar proses penilaian. Guru tidak menggunakan media atau alat peraga selama pembelajaran berlangsung, hal inilah yang menyebabkan guru tersebut tidak memilki standar sarana-prasarana. SI yang digunakan saat ini adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP dimulai sejak pemerintah menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Kenapa ada MBS?Karena adanya desentralisasi atau otonomi daerah. Sistem sekolah saat ini beraneka ragam, diantaranya:
1.Home Schooling: pendidikan informal. Pendidikan alternative ini diterapkan karena permasalahan ada di diri siswa. Misal: siswa tidak ada waktu banyak untuk sekolah, lokasi sekolah jauh dari rumah, dan lain sebagainya.
2.SKM: sekolah yang menerapkan sistem SKS dan moving class.
3.SSN (Sekolah Standar Nasional). SSN menerapkan standar nasional yang diterapkan oleh pemerintah, yaitu:
a.Semua guru sudah lulusan S1.
b.Tiap guru sudah melakukan pelajaran tatap muka dengan siswa selama 24 jam/minggu.
c.Jumlah murid sesuai dengan standar yang ditetapkan. SD maksimal 28 orang, SMP dan SMA maksimal 32 orang.

Desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat. Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar. Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.
Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional. Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.
Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.
Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke. Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan. Yang lebih menyedihkan, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.
Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi. Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas. Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan. Jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional. Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam. Tidak cukup sertifikasi
Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar. Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

Daftar Pustaka
http://dikisafaat.blogspot.com/2010/01/standar-proses-pendidikan.html
http://www.g-excess.com/id/standar-nasional-pendidikan.html
http://scribd.com/doc/8754386/Permen-Standar-Proses-No-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar